MAKALAH HERMENEUTIK UMUM
TUGASA
MAKALAH
HERMENEUTIK
UMUM
OLEH :
STEFANUS
MANGNGI PIGA
PAK 2O16
PROGRAMA
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
SEKOLAH
TINGGI TEOLOGI BETHEL INDONESIA
TAHUN
AJARAN 2017-2O18
PEMBAHASAN
A. ANALISIS KONTEKS
Kata konteks berasal dari dua kata latin con yang berarti bersama-sama atau
menjadi satu, dan textus yang berarti “tersusun”, jadi konteks disini menunjuk
kalimat atau bagian yang berada di sekitar ayat atau ayat-ayat yang ingin
ditafsir, bahkan ini dapat juga menunjuk
seluruh isi kitab itu atau seluruh isi alkitab. Itu sebabnya konteks dapat
dibagi konteks dekat dan konteks jauh.
·
Analisis
konteks dekat
Pada dasarnya konteks dekat menunjuk
bagian yang persis sebelum atau setelah ayat atau ayat-ayat yang ingin di
tafsir. Analisis konteks berfokus pada bagian yang berdekatan dengan ayat atau
ayat-ayat yang ingin ditafsir.
Peyelidikan
konteks dekat penting karena membantu
penafsir memastikan, bagian alkitab yang ingin ditafsir, merupakan unit yang
utuh. Analisis konteks juga membantu penafsir memastikan makna kata, tata
bahasa, modus, dan ragam sastra bagian alkitab yang sedang ditafsir. Tanpa
mempertimbangkan konteks, upaya pemastian ini seringkali kurang berhasil. Tidak
ada penafsir ( atau teolog, pengkhotbah, guru) dapat menjelasakan suatu bagian
alkitab yang ditafsir tanpa memeperhatikan konteks. Tafsiran (atau teologi,
khotbah, bahan pelajaran). Akan mudah sekali berubah menjadi penyampaian
pendapat pribadi jika tidak memperhatikan konteks ayat atau ayat-ayat yang
ingin dijelaskannya. Dan ini sangat bahaya.
Lalu
yang tidak kala pentingnya analisis konteks berguna untuk menemukan tujuan dan
maksud ayat atau ayat-ayat yang ingin ditafsir.
Contoh: lukas 18:5 berbunyi, sebab lebih mudah seekor unta masu
kmelalui lubang jarum daripada seorang
kaya masuk kedalam kerajaan Allah apakah
ini berarti tidak ada seorang kaya pun yang masuk kedalam kerajaan Allah?
Mengapa Tuhan Yesus mengambil sikap yang begitu keras terhadap orang kaya?
Bagaiamana ayat ini dipahami dengan surat efesus 2:8-9 ? ayat ini tidak dapat
dijawab, atau lebih tepat, tidak dapat ditafsir dengan tepat tanpa
penyelididkan konteks.
·
Analisis
konteks jauh
Analisis konteks jauh menyelidki konteks
yang lebih jauh atau luas dibandingkan dengan konteks dekat. Analisis ini tidak
berkaitan secara langsung dengan upaya memastikan unit kecil yang menjadi dasar
khotbah, atau makna kata, tata bahasa dan modus, namun analisis ini berperanan menemukan alur pemikiran, tujuan
dan maksud ayat atau ayat-ayat yang ingin ditafsir, bahkan seluruh isi alkitab.
Analisis ini biasanya mencakup konsep yang ditemukan pada kitab itu sendiri,
namun bila perlu penafsir boleh lebih memperluas penyeling
berhubungidkan yang mencakup kitab-kitab
yang ditulis penulis yang sama, kitab-kitab yang ada hubungan, bahkan seluruh isi
alkitab.
Ø itu
sendiri. Kitab
Dalam penyelidikan konteks jauh konteks
yang ditemukan pada kitab yang terkait merupakan konsep yang paling
penting.konteks ini perlu diselididki dengan teliti dari beberapa sudut, paling
tidak penafsir perlu memperhatikan:
1) Konteks
yang bersifat historis
Penafsir perlu menaruh perhatian kepada
informasi yang berhubungan dengan tokoh, peristiwa,kronologi, atau geografi.
2) Konteks
yang bersifat teologi atau logis.
Hubungan konteks juga dapat ditelusuri
dari sudut teologis, dan logis. Jadi dibaca dari sudut logis, hubungan surat
flp 1:3 dengan ayat 5 lebih erat dari pada ayat 4.
3) Kitab-kitab
yang ditulis penulis yang sama.
Ada sejumlah kitab mempunyai hubungan
erat satu dengan yang lain karena ditulis oleh toko yang sama. Jadi apa yang
ditulisnya dalam salah satu kitab perlu dirujuk kepada kitab lain.
Contoh : Paulus menulis dua
pucuk surat kepada jemaat dikorintus. Kedua surat ini perlu dipelajari
bersamaan agar penafsir dapat mengikuti apa yang terjadi di korintus, dan komunikasi
yang terjalin anatara rasul paulus dan jemaat di korintus.
4) Kitab-kitab
yang ada hubungan.
Ada sejumlah kitab yang tidakditulis oleh penulis
yang sama, namun diantara mereka, ada hubungan yang cukup erat karena faktor
tujuan, ragam sastra, tanggal penulisan, atau pembaca kitab.
Selain itu dlam analisis konteks jauh
sebuah kitab perlu diperhatikan jika:
Ø Kitab
itu memiliki kata, ungkapan, khususnya ide yang sama atau dekat.
Ø Kitab
itu memiliki latar belakang yang dekat.
Ø Kitab
itu mencatat informasi yang sejajar.
Ø Kitab
itu mencatat kisah, peristiwa, ajaran, atau kronologi yang berkaitan.
Dalam analisis konteks
jauh penafsir perlu memperhatikan persamaan dan perbedaan kitab-kitab,
janganlah menetrapakan tujuan tujuan dan isi sebuah kitab kepada kitab lain.
·
Beberapa
prinsisp umum
Ø Ayat
atau ayat yang ingin ditafsir harus merupakan unit yang utuh.
Ø Jangan
mencari-cari hubungan konteks jika memenag tidak ada.
Ø Bertolak
belakang dengan butir di atas adakala penafsir perlu meneliti dengan lebih
tekun untuk menemukan hubungan konteks.
Ø Pembacaan
yang berulang-ulang dengan disertai observasi yang teliti merupakan metode yang
ampuh.
Ø Perhatikan
kata penhubung seperti:dan, kemudian, maka, tetapi, sementara, karena itu, dan
lain-lain.
Ø Perhatikan
topik utama atau kata penting.
Ø Makain
sedikit jumlah ayat yang ingin ditafsir makin besar kemungkinan melalaikan
konteksnya.
Ø Konteks
kitab yang bersangkutan atau alkitab, memnerikan makna,atau penjelasan yang
paling akurat.
Ø Dengan
membandingkan beberapa terjemahan yang tidak sama, penafsir dapat beroleh
gambaran berbeda.
Tahap pertama dalam
memepelajari alkitab secara serius adalah mempertimbangkan konteks yang lebih
luas tempat suatu perikop berada.
Dua hal perlu
dipertimbangkan di awal memepelajari alkitab dan untuk mengetahui situasi yang
di bahas oleh suatu alkitab harus melalui kedua aspek yaitu:
1.
KONTEKS SEJARAH
Dalam konteks sejarah reformasi dalam
latar belakang sejarah dari suatu kitab tersedia di sejumlah sumber, mungkin
sumber tunggal, yang paling baik adalah pengantar dari buku-buku tafsiran yang
baik, sangatlah penting menggunakana karya –karya hasilpenelitian yang baik, sangatlah
penting menggunakan karya-karya hasil penelitian yang baik yang terkini karena
adanya ledakan informasi yang di hasilkan dalam beberapa dekade
terakhir,penegantar-pengantar perjanjian lama dan perjanjian baru merupakan
penolong yang luar biasa , karena mereka berinteraksi lebih luas ketimbang yang
biasanya dilakuakan oleh buku tafsiran, buku-buku menegenai teologi perjanjian
lama dan perjanjian baru, ( sepertibuku george ladd ), seringkali menolong kita
menemukan teologi darimasin-masing
kitab.
Pada tahap ini kita meneggunakan
sumber-sumber sekunder untuk memepelajari data awal untuk menafsirkan suatu
teks, nilai pembacaan awal ini adalah mengalihkan kita dari prespektif abad 21
dan membuat kita sadar menegenai situasi masa lalu di balik teks, dan kita
perlu mempertimbangkan:
1. Kepenulisan.
Dalam
suatu penegertian, kepenulisan lebih penting untuk penyelididkan kritis sejarah
ketimbang untuk eksegesis sejarah tata bahasa. Akan tetapi aspek ini masih bisa
menolong kita untuk menempatakan suatu kitab dalam sejarah.
2. Penanggalan.
Suatu
karya tulis juga memberikan kepada kita suatu bentuk peralatan penafsiaran
untuk mengetahui makna dari suatu teks.
3. Dituju
sebagai pemebaca.
Sebagai
pembaca suatu karya memainakan peran penting dalam mendapatakan makana dari
suatu perikop.
4. Tujuan
dan tema-tema
Kemungkinan
merupakan aspek terpenting dan semua aspek yang sudah disebutkan di atas
sebagai alat bantu untuk penafsiran. Kita jangan mempelajari perikop apapun
tanpa suatu penegetahuan dasar mnegenai masalah-masalah dan situasi-situasi
yang di bahas dalam suatu kitab yang dipakai penulis untuk membahas masalah-masalah
tersebut.hal tersebut memang sangat meneolong sebagai suatu alat penafsiran.
Dan tujuannya adalah untuk mempersempit aturan-aturan penafsiran agar kita
dapat menanyakan pertanyaan yang tepat,mengarahkan kita kembali ke zaman budaya
pengarang asli dan situasi di balik teks.
2. KONTEKS
LOGIS
Pada kenyataanya konteks logis memang di mengerti sebagai
faktor yang paling mendasar dalam penafsiran alkitab. Istilah konteks logis
sendiri memiliki serangkaian paragraph-paragraph yang luas atau suatu teks ini
dapat diggambarkan dengan baik sebagai serangkaian lingkaran konsenteris.
Tatakala kita bergerak semakin ke
tengah, pengaruh terhadap makna dari suatu perikop semakin meningkat. Genre,
misalnya mengenali jenis literatur dan menolong penafsir untuk mengenali
bagian-bagian yang paralel, namun pengaruhnya tidak seperti pengaruh kitab suci
melihat suatu perikop sebagai bagian dari
keseluruhan. Misalnay kita dapat menegenali kitab wahyu sebagai jenis
tulisan apokaliptik, dan meskipun jenis tulisan apokaliptik di zaman
interstemental dan hellenistik menyediakan paralel yang penting, hampir semua
simbolnya di ambil dari perjnajian lama.
Dua aspek membentuk apa yang sering di
sebut belajar alkitab secara induktif yaitu membuat bagan keseluruhan suatu
kitab dan membuat diagram dari paragraf-paragrafnya.
a)
Memepelajari
keseluruhan : membuat bagan suatu kitab
Hanya
pada saat pesan dari keseluruhan perikop telah diperatikan barulah
bagian-bagiannya dapat dipelajari untuk
mendapatkan detail-detail pesan intinya.
Dalam
praktiknya,proses hermeneutic dapat di rangkum dengan cara berikut:
·
Pertama, kita membuat bagan keseluruhan
dari satu kitab untuk mengaanlisis alur pikiran yang ada di dalam kitab
tersebut dalam bentuk awal, selanjutanya kita memepelajari setiap bagian secara
intensif untuk melihat semua argumentasi
yang ada di dalamnya.
·
Kedua, kita menyusun kembali
perkembangan pemikiran keseluruhan dalam hubungannya dengan bagian-bagiannya.
Kita bergerak dari keseluruhan kitab kepada bagian-bagian yang utama dari kitab
tersebut dan kemudian kepada paragraf-paragrafnya dan terakhir kepada
kalimat-kalimatnya secara individu.
Mortimer Adler dan Charles van Doren,
dalam karya klasik mereka yang berjudul
How to read a Book, membahas empat tingkatan dalam membaca:
·
Pembacaan Awal.
Yang
berpusat pada identitas dari istilah-istilah dan kalimat-kaliamt secara
individu.
·
Pembacaan inspeksional.
Yaitu
dengan membaca sekilas suatu buku untuk memperoleh stuktur dasar dan ide-ide
utama.
·
Pembacaan anlitis.
Adalah
dengan mempelajari buku itu secara mendalam untuk memahami pesan dari buku
tersebut selengkap mungkin.
·
Pembacaan sintopikal.
Adalah
dengan membandingkan pesan buku yang
dibaca dengan buku-buku lain yang serupa untuk membangun suatu analisis yang
mendetail dan asli dari apa yang menjadi subjek pembahasan.
Adler
dan Van Doren mengembangkan pembacaan inspeksional yaitu:
Ø Pertama,
dlakukan suatu prapembacaan ,yaitu memeriksa bagian –bagian pendahuluan,
(prakata, daftar isi,indeks), dan kemudian membaca sekilas pasal-pasal dan
paragraf-paragraf kunci untuk memastikan alur dan bentuk umum suatu buku.
Ø Kedua,
dilakukan pembacaan sambil lalu terhadap seluruh kitab tanpa berhenti untuk
memikirkan paragraf-pragraf dan konsep-konsep yang sulit satu persatu. Ini
memampukan kita merunut danmemahami ide-ide utama sebelum kita tersesat di
dalam detail-detail yang spesifik.
Disini sangat penting untuk menggunakan alkitab yang memiliki
pembagian paragraf yang baik, dan kita harus ingat bahwa pembagian ayat dan
pasal itu bukan suatu yang diinspirasikan.,kenyataanya alkitab tidak pernah di
bagi dalam ayat-ayat sampai tahun 1551, ketika seorang penerbit dari paris,
yang bernama tephanus, mebagi keseluruhan alkitab kedalam ayat-ayat ketika ia
menerbitkan alkitab versi yunaninya yang terbaru, ini d dilakukannya selam
lebih dari enm bulan. Menurut tradisi stephanus melakukannya selam ia
menannggung kuda dan pembagian-pembagian yang terjadi merupakan hasil dari
derapan kuda yang menggerakan penannya, sehingga dari keputusan dari pembagian
ayat tersebut keliru. Namaun versi alkitab yang diterbitkan oleh stephanus ini
menjadi begitu popular sehingga tidak ada seorangpun yang berani mengubah hasilnya, dan pembagianya terus dipakai sampai
sekarang,
Kesulitan
paling besar bagi pemula untuk belajar, adalah bagaimana membaca sekilas tiap paragraf
dan merangkum tema-tema utamanya. Jika kita membaca paragraf dengan terlalu
mendetail peryataan rangkuman seringkali hanya mencerminkan beberapa kaliamat
pertama di awal paragraf ketimbanag paragraf secara keseluruhan, kekliruan
semacam ini dapat membengkokkan hasil dari seluruh penyelidikan alkitab, jadi
cobslah merangkum keseluruhan paragraf.
Kesulitan
lain adalah metode untuk menandai batas-batas pola utama. Meskipun setiap
perikop alkitab memiliki suatu pengaturan yang memiliki makna, pola pemikiran
sering kali tidak mudah ditemukan.
Dougles
Stuart menyatakan: cobalah mengenali pola-pola,terutama mencari fitur-fitur
kunci seperti perkembangan, pengulangan suatu hal atua pemikiran bentuk frasa
yang unik kata-kata yang sentral atau menentukan paralelisme, kiasme, inklusi,
dan pola-pola repitisi dan progresi yang lain. Kunci untuk pola-pola itu paling
sering berupa repitisi dan progresi.
Walter
Kaiser menyediakan detail yang lebih banyak, mendata 8 petunjuk untuk menemukan
sambungan-sambungan seperti ini di anatara unit-unit pemikiran.
·
Istilah-istilah, frasa, klausa atuau
kalimat yang di ulangi dapat berlaku sebagai awal untuk memperkenalkan setiap
bagian atau sebagai kolofon ( tanda akhir ) untukmenyimpulkan masing-masing
bagian.
·
Sering kali dapat petunjuk dari tata
bahasa seperti konjungsi atau adverbia trdisional misalnya kemudian, maka,oleh
sebab itu, namun, akan tetapi, sementara itu, dan kata-kata yunani oun, de, kai, tote, dio.
·
Suatu pertanyaan retoris dapat menjadi
tanda dari-pergantian dari suatu tema, dan bagian yang baru.
·
Suatu perubahan waktu, lokasi atau latar
merupakan alat yang sering di pskai khususnya dalam konteks narasi, untuk menunjukan suatu tema, atau bagian yang baru.
·
Suatu bentuk vokatif dari sapaan yang
secara nyata menunjukan suatu peralihan perhatian dari satu kelompok kepada kelompok lain merupakan salahsatu alat
yang sangat penting.
·
Suatu perubahan dalam penanda waktu
·
Repitisi kata kunci
·
Dalam beberapa kasus,tema dari setiap bagian akan diumumkan sebagai
judul bagi bagian itu, di dalam kasus yang tidak lazim itu,
·
Tipe-tipe dasar dari batas-batas ini
akan membantu kite ketika kita membaca sekilas paragraf-paragraf dan merangkum
isinya.
Ada beberapa tahap dalam proses menyelidiki atau
melihat bagan yaitu:
Ø Tahap pertama adalah yaitu cara
yang paling efisien untuk membaca sepintas paragraf-paragraf adalah dengan pena
di tangan.
Ø Tahap kedua, setelah memnbuat bagan
kitab, sekarng waktunta untuk kembali dan mencari pola-pola pemikiran di dalam
progresif paragraf kitab itu.
Ø Tahap terakhir adalah membagi lagi
bagian-bagian dalam bagan ke dalam unit-unit utama dengan tanda garis tanda
Selain
itu, kita memang perlu brtanya apakah metode sama bisa berlaku juga untuk
kitab-kitab yang lebih panjang seperti yesaya dan yeremia. Meskipun lebih
sulit, saya sunguh-sungguh yakin bahawa metode tersebut cukup menolong.
b)
Memepelajari
bagian-bagian membuat diagram dari paragraf
Ada beberapa model diagram yaitu:
Ø Diagaram
blok
Diagram ini berfungsi untuk pada tingkat klausa dan
menyediakan suatu tinjauan umum yang lebih baik.
Metode blok memang memiliki beberapa
kekurangan,misalnya (1) metode ini tidak menunjukan detail sebanyak dua metode
lainnya akan tiga kelebihan yang menutupi metode ini menutupi
kelemahanya:metode ini lebih mudah dan memakan sedikit waktu, sehingga
mendorong pendeta atau orang awam yang sibuk untuk terus menggunakanya. (2) Dan
sebagaian besar hubungan lainnya, seperti adjektiva, nomina yang menerangkan,
adverbia atau frasa-frasa prepsisional yang menerangkan verbal.
Ø Diagram
kata
Ø Diagram
frasa
Ø Diagaram
kalimat
Tujuan dari diagram ini adalah untuk menunjukan alur
pikiran suatu paragraf sesederahan mungkin ketimbang untuk meamstikan
detail-detail thata bahasa.
Hal
pertama yang perlu dikerjakan dalam diagram kaliamat adalah membedakan
klausa-klausa mayor dan minor.
Klausa
adalah bagian dari kalimat yang mengandung satu subjek dan satu predikat,
misalnya,saya melihat anak laki-laki itu ( kalausa utama) atau ‘saya melihat
anak laki-laki itu’ (klausa subrodinatif atau klausa minor), perbedaan di
anatara keduanya adalah bahwa yang
pertama dapat berdiri sendiri sebagai satu kalimat sementara yang kedua
tidak dapat.
Ada
beberapa aspek yang perlu diperhatikan dalam diagram blok yaitu:
Ø Pertama,
Anah panah harus menunjuk kepada istilah yang diterangkannya, sementara
klausa-klausa atau frasa subrodinatifnya diberi stengah inci melewati klausa
yang mereka terangkan.
Ø Kedua,
seringkali ada serangkaian klausa yang di beri enden (spasi) yaitu klausa
minor, yang menerangkan klausa minor lainnya.
Ø Klausa-klausa
atau frasa-frasa paralel saling dihuhubungkan oleh sebuah anak panah ( jika
Klaus atau frasa tersebut adalahklausa atau frasa subrodinatif seperti duafrasa
dari efesus 1 : 5-6)
Suatu
garis besar akan menyesuaikan diri dengan pengaturan dari teks:
1. Keadaan
perendahan diri( flp. 2:6-8)
A. Keadaan
pikiran ( ay. 6)
1. Esensi-Nya
2. Keputusan-Nya
B. Keadan
keberadaan-Nya
1. Inkarnasi-Nya
( ay. 7)
a. Esensi-Nya
b. Keserupaan-Nya
2. Perenahan
diri-Nya
a. Penampilan-Nya
b. Ketaatan-Nya
11
. Keadaan peninggalan ( flp 2:9-11)
A. Peninggian
oleh Allah ( ay. 9 )
1. Keadaan-Nya
yang baru
2. Nama-Nya
yang agung
B. Peninggian
oleh manusia dan segala ciptaan ( ay. 10-11)
1. Peninggian
melalaui penundukan diri ( ay. 10)
2. Peninggian
melaluai pengakuan ( ay . 11)
a. Keuniversalnya
b. Isinya
c. Hasilnya
Akan
tetapi perikop-perikop perjanjin lama berbeda, hal pertama yang harus kita
perhatikan mengenai perikop-perikop tersebut adalah kurangnya klausa-klausa subordinat.
Membuat diagram dalam perjannjian lama tidak cukup membanatu seperti dalam
perjanjian baru karena bahasa ibrani tidakbegitu banayak menggunakan konjungsi.
Perikop-perikop dan puisi dan narasi umumnya berisi klausa-klausa utama. Dlam
prosa konjungsi utama atau klausa dan sangat menonjol. Oleh sebab itu, kita
perlu mencari pola-pola retoris dan memperhatikan dimana ide-idenya berubah.
POLA-POLA
KOMPOSISI DAN RETORIS
Ketika
sedang membuat diagram perkembanagan struktur dari ide-ide dalam suatu
paragraf, sering kali seorang bertemu dengan teknik retoris, yaitumetode gaya
bahasa untuk membuat suatu berita menjadi jelas. Inimenyediakan konteks bagi
tahap ketiga dan terakhir dimana suati ide di temukan, yaitu tingkat makro dari
polapenataan suatu kitab secara keseluruhan dan tingkat antara dari paragraf
serta teknik-teknik komposisi yang digunakan dalam paragraf-pragraf.
Sejumlah
tipe relasi yang berbeda ada diantara ide-ide atau pemikiran-pemikiran. Akan
tetapi untuk mengklasifikasi tipe-tipe relasi yang ada ini memang sulit.
Suatu
pemahaman data dari tipe-tipe relasi yang ada ini terbukti sangat membantu
tatkala mempelajari berbagai perikop dalam alkitab, adapun setiap tipe retorik
yang ada dengan contoh dari kitab suci:
1. Relasi
kumpulan
Menyambung ide-ide atau peristiwa-peristiwa
berdasarakan beberapa pokok persamaan, Ini dalah tipe umum dari ciri retoris dalam
dunia kuno, dan para rabi menyebutnya “ perangkaian matahari ’’ dan sering mengumpulkan teks-teks misianis
bersama.
2. Relasi
sebab akibat dan masalah solusi
Mengandung
suatu tindakan sebelumnya (anteseden) dan suatu konsekuensi hasil.kita dapat
memilih dari banyak ilustrasi , teguran yang dilakukan para nabi terhadap
Israel sering kali dalam bentuk sebab akibat .misalanya amos 2: 6-16 di mulai dengan suatu sebab .
3. Perbandingan.
Memperlihatkan kemiripan-kemiripan
atau kontras di antara ide-ide.sebuah contoh yang terkenal adalah kontras
Adam-kristus dari roma 5:12-21
4. Deskripsi.
Adalah suatu kategori
yang luas yang mencakup klarifikasi atas suatu topik, peristiwa atau orang
dengan informasi lebih lanjut.
Prinsip perangkuman
dapat ditempatkan di bawah kategori ini, karena rangkuman biasanya ditempatakan
di akhir sebuah deskripsi panjang untuk meningkat seluruh bagian menjadi satu
dan memperlihatkan tema dasar atau hasilnya.
5. Pergeseran-pergeseran
dalam pengharapan.
Mencakup banyak tipe komposisi,
segnifikan dari pergeseran-pergeseran seperti itu tergantung pada fakta bahwa
pembaca mengenal susunan kata, sintaksis, atau makna suatu kata, frasa, atau kalimat
lengkap yang tidak
B Bahasa
Semantic
Kata-kata
menyediakan bangunan dari makna, tata bahasa, dan sintaksis menyediakan
rancangannya. Akan tetapi, akhir-akhir ini semantic (menentukan makna kata)
lebih merupakan suatu seni ketimbang ilmu. Sejak abad ke-20 semantik telah
benar-benar sebagai ilmu linguistic yang dapat berdiri sendiri. Karya
monumental james barr the semantic of biblica language (1961) pertamakali
menerapkan prinsip-prinsip linguistic secara ilmiah dalam studi alkitab
sebelumnya, para ahli berfikir bahwa makna dari suatu kata dapat ditemukan
dalam perkembangan historinya (tesis value 1 mengenai semantika pertamakali
ditebitkan oleh Michel breal pada tahun 1897) betapa lebih sulit lagi untuk
menuntaskan masalah ini dalam suatu bab.
Pada
umumnya para ahli bahasa modern menyadari sentralitas dan kontek sastra dan
sejarah yaitu, dimensi-dimensi linguistic dan ekstra linguistic, bagi semua
masalah makna. Mengikuti J. L Ausin,
Alston mengusulkan suatu pendekatan: “Ilokusioner “yaitu penentuan kondisi
aktual yang mengomunikasikan makna. Kondisi-kondisi ini harus peka terhadap
budaya ; kondisi-kondisi ii harusnya berjalan sejalan dengan cara tiap budaya
berkomunikasi.
Kekeliruan-Kekeliruan Semantik
1. Kekeliruan
Leksikal, sudah menjadi hal yang lazim, khususnya sejak permunculan theological
Dictonary of the New tastement dari Kittle (TDNT, 1932-1977) dan juga dengan
kamus yang sama mengenai perjanjian lama (1970- ), untuk menganggap bahwa studi
kata dapat menyelesaikan perdebatan theologis. Misalnya, sebagian orang
menganggap suatu keputusan berkenan dengan apakah khepale berarti “sumber” atau “otoritas” dalam 1 kor 11:2 atau Efs
5:23-24 akan menyelesaikan masalah tentang peran wanita digereja dan dirumah.
Meskipun tidak ada yang megakuinya secra terbuka, waktu yang digunakan untuk
melacak istilah itu melalui literature yunani yang masih ada sangatlah besar
dan sangat sedikit waktu yang digunakan dalam memperhatikan knteks dari istilah
itu. Ini bukan untuk membantah bidang ilmu semantic yang sudah mapan melainkan
untuk mengenali sentralitas dari konteks dekat. Kekeliruan ini dapat terjadi
dalam karya-karya yang memiliki kualitas tertinggi. Silvia (1983:23) melihat
penekanan yang berlebihan pada studi kata dalam The Faithful Sayings in the Pastoral Letters dari George Knight (1968).
2. Kekeliuan
akar kata, kekeliruan ini terjadi karena menganggap bahwa akar dari suatu
istilah dan kata-kata yang yang seasalnya mengusung suatu arti dasar yang
tercermin dalam setiap pengguna subordinat dari istilah tersebu maupun
kata-kata seasalnya. Rasanya telah
diyakini secara umum bahwa dalam bahasa
ibrani ada satu “makna dasar” yang dapat diperlakukan ke semua variasi dari
suatu akar kata yang diberikan oleh afiks dan elemen, dimana “makna dasar” itu
secara meyakinkan dapat dipakai menjadi bagian dari nilai semantic yang aktual
dari setiap kata atau bentuk yang terkait dengan suatu akar yang dapat
dikenali; dan setiap kata biasa dipakai untuk memberikan semacam gagsan untuk
kata-kata lain yang dibentuk dari akar kata yang sama. Kekeliruan ini sangat terkait
dengan etimologi, dan faktanya banyak ahli mempersamakan keduanya. akan tetapi,
keduanya memiliki dua aspek yang ingin
saya pisahkan: keyakinan bahwa suatu makna dasar dapat dijumpai dalam semua
bentuk di bawahnya (kekeliruan akar kata), dan keyakinan bahwa perkembangan
sejarah dan dari suatu istilah menentukan maknanya yang sekarang (kekeliruan
leksikal), Etimologi akan menjadi
istilah utama yang meliputi kedua aspek itu.
3.
penggunaan yang tidak tepat atas
etimologi. Penggunaan yang tidak tepat atas
etimologi sesungguhnya mencangkup dua kekeliruan awal sebagai bagian
didalamnya. Etimologi itu sendiri adalah
studi mengenai sejarah dari suatu istilah. Louwna melacak masalah itu sampai
kepercayaan yunani kuno bahwa makna suatu kata berasal dari naturnya sendiri
ketimbang dari konvensi (1982). Oleh karena itu para ahli sekarang percaya
bahwa kunci menuju makna suatu kata terletak pada asal kata itu dan sejarahnya.
Anggapan perkembangan “Linear” ini merupakan penyebab penggunaan yang keliru
atas etimologi, anggapan ini melihat
pengguna masa lampau atas suatu kata dapat diterapkan pada makna dimasa kini.
4. penggunaan yang
tidak tepat atas makna yang kemudian. Masalah yang
berlawanan dari etimologi muncul ketika kita manggunakan makna yang kemudian ke
dalam materi-materi yang ada dalam Alkitab. Ini terjadi misalnya, ketika martys (saksi) ditafsirkan dalam makna
kata itu diabad keduanya yaitu “mati sebagai martir” atau tatkala “ikan” dari
yohanes 21:11-14 dijadikan simbol dari Ekaristi karena kehadiran dalam sakramen
gereja setelah masa itu. Walter Kaiser mencetuskan Frasa “analogi anteseden
kitab suci” untuk merunjuk pada proses penafsiran theologi yang ada dibalik
suatu teks. Ini artinya kita harus menafsirkan suatu istilah
theologis bukan berdasarkan apa makna istilah itu di masa lalu, khususnya
tatkala makna masa lalu itu telah mengaruhi pengguna masa sekarang atas istilah
itu.
5. kekeliruan makna –
tunggal. Adakalanya kita
menghadapi pandangan bahwa setiap permunculan dari suatu istilah ibrani atau
yunani harus diterjemahkan dengan kata bahasa inggris yang sama. Tentusaja ini
sangat berhubungan dengan kekeliruan akar kata yang telah dijelaskan
sebelumnya. Alkitab Concordant Version telah melakuan hal ini dengan kegagalan
yang parah. Masalahnya adalah pandangan yang salah tentang bahasa. Seperti,
rata-rata seseorang memiliki kosakata sebanyak dua puluh ribu kata. Perhitungan
matematika secara sederhana saja menuntut kata-kata itu harus digunakan dalam banyak kombinasi yang berbeda
dengan banyak makna yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan. Biasanya, beberapa
istilah yang sangat teknis (seperti yang ada didalam IPTEK) biasanya memiliki
satu makna tunggal, tetapi tidak dengan kata-kata yang dipakai dalam bahasa
sehari-hari.
6. penggunaan yang
tidak tepat atas bagian-bagian pararel. Pembagian yang
tidak tepat atas bagian-bagian pararel menyebabkan salah satu dari kekeliruan
yang sering terjadi. Suatu artikel yang sangat baik oleh Robert Kysar (1970)
menunjuk bahwa Rudolf Bultmann dan C.H. Dodd dalam tafsiran mereka atas injil
Yohanes (khususnya bagian prolog) menggunakan sumber-sumber pembuktian yang
sama sekali berbeda untuk “membuktikan ” teori masing-masing. Jarang sekali
yang mempertimbangkan perikop-perikop parapel yang dikemukakan oleh orang lain.
Dengan kata lain, mereka hanya memilih bagian-bagian pararel yang akan
mendukung pandangan-pandangan yang sudah mereka pegang sebelumnya. Ini terlalu
sering terjadi dalam lingkungan para ahli. Bukannya melakukan suatu studi yang
menyeluruh atas semua kemungkinan dari perikop-perikop yang pararel untuk
menemukan bagian-bagian yang paling sesuai dengan konteks, para ahli hanya
memilih perikop pararel yang paling disukai untuk suatu tesis dan mengabaikan
perikop lainnya.
7. kekeliruan
disjungtif. Sering dua pilihan dihadirkan dalam
bentuk “either-or” (ini atau itu), memaksa para pembaca untuk memilih mesikpun
diperlukan. Carson menhubungkan kekeliruan jenis ini dengan “suatu penggunaan
bukti secara merugikan,” yang mengajukan data dengan cara sedemikian rupa
sehingga pembaca dipengaruhi untuk mengarah kepada arah yang sebenarnya tidak
diminta oleh suatu bukti.
8. Kekeliruan kata. Suatu
masalah utama lainnya adalah kegagalan untuk memperhatikan konsep dan juga
kata, yaitu para penulis Alkitab mengatakan hal yang sama dari kata yang
berbeda. Secara umum mencangkup sinonim; salah satu tujuan New International Dictionary of New Testament (NIDNTT) dibuat
adalah untuk mengoreksi kekeliruan dasardalam TDNT. Akan tetapi, seperti apa
yang telah dikatakan oleh Moses Silva, bahkan dalam NINDNTT “pengelompokan
istilah-istilah yang memiliki hubungan-hubungan semantik tidaklah benar-benar
memperlihatkan kepekaan kepada teori linguistik; kelihatannya pengelompokan itu
dilakukan untuk kenyamanan semata. Kita hanya jangan pernah mempelajari
pemunculan-pemunculan dari istilah tertentu jika tujuan kita adalah untuk
melacak theologi yang ada di balik suatu kata atau frasa. Studi seperti itu
memang dapat membantu menentukan jangkauan semantik dari istilah tertentu itu
namun tidak dapat merangkum jangkauan pemikiran pengarang atau pengajaran
Alkitabnya. Tidak seorangpun dari kita menggunakan kata-kata yang persis sama
untuk melukiskan pemikiran-pemikiran kita. Melainkan, kita menggunakan
sinonim-sinonim dan frasa-frasa lain
untuk menggambarkan ide-ide kita.
9. mengabaikan konteks.
Mengabaikan
konteks bisa jadi dikatakan merupakan kekeliruan dasar yang meliputi kekeliruan
lainnya dan membuat kekeliruan lain terjadi. Misalnya, etimologi disalah
gunakan sebagai pembentuk makna ketika suatu istilah diakronis lebih
diprioritaskan daripada konteksnya saya telah mengatakan sebelumnya bahwa
konteks dan jangkauan semantik yang berlaku pada waktu itu dari suatu kata
merupakan dua aspek dari dimensi diakronis. Kegagalan untuk memperhatikan
konteks mungkin merupakan kekeliruan yang paling sering terjadi, karena
mayoritas tafsiran diatur menurut pendekatan kata per kata yang biasanya
mengisolasi tiap kata dari istilah-istilah lain sekitarnya dan sebagai
akibatnya gagal menempatkan berita dari teks itu secara utuh sebagai suatu
keseluruhan yang koheren.
Teori
Dasar Semantik
1.
Makna.
Kevin
Vanhoozer memberikan suatu definisi yang diperluas mengenai “makna” sebagai
suatu “maksud yang diletakan” oleh penulis (antara lain, bukan keadaan mental
melainkan tindakan menulis yang diarahkan) dimana maksud tersebut kemudian
“letakkan ... didalam satu stuktur verbal yang stabil” dan “ditampilkan” untuk
dibagikan kepada para pembaca. Satu hal yang mendapat kesepakatan utama dari
para ahli semantik adalah makna bukanlah properti yang melekat pada kata-kata.
Nida menyediakan suatu definisi yang baik tentang makna sebagai “seperangkat
relasi dimana sebuah simbol verbal merupakan sebuah tanda“ dan menambahkan
bahwa suatu kata harus dipahami sebagai “satu tanda atau simboluntuk makna ini
dan itu”.
Teori
tentang makna ini dapat dilikiskan dalam banyak cara. Perhatikanlah penggunaan
dari peirasmos dalam Yakobus 1:2 dan
Yakobus 1:12-13. Kata itu sendiri tidak mempunyai makna melainkan hanya
kemungkinan makna. Kata tersebut merupakan suatu simbol yang menanti suatu
konteks, di sana makanya akan ditentukan oleh interaksi di dalam suatu kalimat.
2.
Pengertian
dan rujukan.
Kita
umumnya tumbuh dengan suatu bentuk teori rujukan makna. Teori ini mengatakan
suatu kaitan langsung antara suatu kata sebagai simbol dan hal yang dirujuk.
Namun masalahnya adalah kata-kata tidak selalu “menamai” realitas dibalik
mereka. Kita dapat mempelajari apakah suatu istilah itu seluruhnya atau umumnya
rujukan (yaitu, suatu istilah teknis) melalui apa yang disebut oleh para ahli
bahasa dengan “kata dan hal” (seperti yang diterapkan pada TDNT). Metode ini mengasumsikan suatu identitas
antara kata dan “hal” yang dirujuk oleh kata itu dan kemudian mendefinisikan
“hal” yang dirujuk oleh kata itu dengan
istilah-istilah yang pasti.
3.
Linguistik
Struktural.
Pengertian
dari suatu istilah bergantung pada fungsinya di dalam unit linguistik yanglebih
besar, yaitu kalimat. Mewujudkan hal ini merupakan inti dari pandangan
struktural mengenai bahasa. Saussure mengenali tiga prinsip fundamental di
balik linguistik modern. Dua telah kita lihat (natur tidak tetap dari kata
sebagai simbol, dan sentralis dari studi diagnosis atas bahasa). Prinsip
Fundamental ketiga adalah sentralis dari struktur untuk menemukan makna. Ia
mendasarkan sistemnya dalam perbedaan antara hubungan sistematis dan pragmatis.
Hubungan sintagmatis bersifat linier dan menjelaskan hubungan suatu kata dengan
istilah-istilah lain yang mengelilinginya didalam suatu ucapan-tindakan,
Seperti hubungan timbal balik dari konsep-konsep dalam “Allah adalah kasih.”
Hubungan pradigmatis bersifat vertikal atau asosiatif, melihat istilah-istilah
lain yang dapat menggantikannya, seperti kata-kata yang sinonim ketimbang
“kasih” seseorang dapat berkata “baik” “penuh belas kasih” atau “murah hati”.
4.
Konteks.
Silva
merangkumkan aksioma yang diterima secara universal berkenan dengan kepentingan
tatkala ia memberikan “suatu fungsi yang bersifat menentukan kepada konteks;
yaitu, suatu konteks tidak hanya menolongkita memahami makna; kontekslah yang
menghasilkan makna.” Ada dua aspek dari konteks – historis dan logis untuk
menggambarkan prolegomena menuju studi Alkitab yang serius. Disini akan
membahas analisis yang serupa dan, sesuai kenvensi linguistik, yang akan
disebut aspek sastra dan situasional.
Sawyer
menyebut konteks sastra sebagai waktu “lingkungan linguistik” yang
menghubungkan sistematika dengan beberapa aspek hermeneutika lain yang dibahas
kemudian, seperti sintaksis dan genre. Sawyer memusatkan studinya pada
stilistika, yaitu mengenai pengelompokan unit-unit semantik atas dasar
tipe-tipe ungkapan yang serupa. Tentusaja ini menjadi wilayah abgi penyelidikan
linguistik. Karena stilistika mengakui bahwa setiap penulis menggunakan bahasa
secara berbeda. Pada waktu yang sama, setiap bahasa memiliki gaya bahasa
tertentu yang lebih disukai (idiom, cara mengatakan banyak hal) yang seringkali
menentukan pemilihan kata. Dua kekuatan ini bekerja dalam arah yang berlawanan:
setiap gaya menghasilkan beragam ungkapan, norma-norma budaya menghasilkan
penyesuaian (keserupaan atas ungkapan. Setiap orang yang mempelajari Firman
harus peka terhadap kedua hal ini dan memperhatikian faktor-faktor gaya bahasa
apakah yang terdapat dalam suatu konteks.
5.
Struktur
Batin.
Struktur
batin berurusan dengan hubungan gramatikal dasar dan semantik dari suatu
kalimat. Itu jenis dengan terjemahan modern seperti New International Version.
Melakukan parafrasa jika diperlukan namun tetap setia menghasilkan kembali yang
asli. Akan tetapi, struktur batin mencari berita yang ada dibalik kata-kata.
Bagi Studi Alkitab, struktur batinnya adalah kebenaran theologis yang tertanam
dalam pernyataan. Struktur batin ini didasarkan atas gramatika transformasi
dari Noam Chomsky. Struktur batin memberikan banyak dampak semantika. Chomsky
mengajarkan bahwa dibalik struktur lain dari setiap pernyataan terdapat
transformasi-transformasi linguistik, yaitu pesan dari suatu ajaran. Banyak ahli semantis telah mengetahui
kesalahan ini dan telah melihat dengan benar bahwa gramatika lahirlah yang
mengendalikan transformasi-transformasi itu. Keduanya merupakan bagian-bagian
yang saling bergantung dari suatu keseluruhan.
6.
Sintaksis
dan Semantik.
Eugene
Nida dan Charles Taber membahas dua faktor dasar yang memengaruhi makna
(1974:56-63),dan ini akan menyediakan suatu rangkuman yang baik untuk paruhan
pertama dari pembahasan mengenaik semantic structural.
Faktor
pertama yang menuntun kepada makna adalah sintaksis.Apakah suatu kata digunakan
sebagai Nomina,verba,atau adjektiva,ini akan membuat perbedaan yang sangat
besar.Suatu makna dapat berubah secara radikal di tiap penggunaan sintaksis.Hal
yang sama sering terjadi dengan kata-kata dalam alkitab. Kita harus selalu
menanyakan apa kontribusi suatu istilah terhadap makna dari keseluruhan
pernyataan,bukan hanya sekadar menanyakan tentang apa “makna”suatu istilah
dalam konteks .Thiselton menggunakan konsep Wittgenstein mengenai “permainan
bahasa”1977:1130-32;1980:373-79) untuk mengungkapkan kebenaran ini.setiap kata
yang digunakan dalam suatu ucapan bukanlah merupakan suatu entitas didalam
dirinya sendiri melainkan bagian dari suatu aktivita yang lebih besar yang
didasarkan pada kehidupan setiap hari.
“Semotaksis”
adalah faktor kedua dan merujuk kepada pengaruh dari kata-kata yang
mengelilingi.Ini tentu dapat menjadi sangat kompleks.Karena semua unsur yang
ada didalam suatu struktur lahir saling berinteraksi. Salah satu aspek yang
menentukan berkenaan dengan modifikator. ( adjective, klausa-klausa subordinat
dan seterusnya)
Dua
tafsiran ini cukup berbeda namun masing-masing didasarakan pada
hubungan-hubungan semotaksis yang jelas.Atas dasar kontek yang lebih besar yang
harus dipilih penafsir.
7. Jangkaun Semantis ( Makna )
Makna sekunder
merupakan makna khusus yang seringkali memiliki suatu aspek dari pengertian
primer namun hanya muncul dalam beberapa konteks.Sebagian besar dari kita tidak
akan pernah terlibat didalam tipe riset yang mendetail seperti yang digambarkan
disini.kita tidak akan memiliki waktu untuk melancak kembli setiap penggunaan
suatu istilah di dalam konteks yang aslinya dan menata ulang hasil-hasilnya
atas dasar teori semantic yang terkini .Namun jika kita mengetahui
teorinya,kita dapat menggunakan sarana-sarana sekunder dengn pengertian dan
kepekaan yang jauh lebih besar. Nah di bab ini dapat digunakan untuk berbagai
tingkatan yang berbeda,dari pembacaan renungan yang serius sampai penulisan
monograf-monograf yang utama.
8. Makna konotatif
Nida dan Teber
mengemukakan empat komponen dasar dari penerapan dinamis atas kata-kata didalam
suatu konteks: elemen objek, peristiwa yang dikonotasikan,natur abstrak yang
diperoleh dan relasi yang tersirat.Para penerjemah alkitab Wycliffe dan yang
lainnya menggunakan kompleksitas OPAR ini untuk mengenali dengan lebih cepat
tepat cara yang pasti suatu kata yang digunakan didalamkonteksnya dan
menyediakan suatu panduan untuk memilih padanan dinamis suatu istilah dan frasa
didalam bahasa penerima kedalam perikop yang diterjemahkan.
9.
Medan makna/Riset paradigmatic :sinonim,antonym dan analis komponen
Bagian ini membahas
medan makna dari suatu konsep,bukan hanya yang beragam makna yang dapat
dimiliki oleh suatu istilah didalam konteks-konteks yang berbeda melainkan
istilah-istilah lain yang berhubungan dengannya.ini merupakan lawan dari
“jangkuan makna” dan merujuk kepda jumlah kata dan frasa yang digunakan dalam
abad pertama untuk suatu konsep tertentu.
10.
Ambiguitas dan makna ganda
Dalam mempelajari
aspek-aspek sintagmatis dan paradigmatic dari kata-kata,penting untuk
memperhatikan tipe-tipe dan ketidakjelasan,adakalanya disengaja dan dilain
waktu kelihatannya kebetulan,mungkin karena kita tidak memiliki cukup data
untuk menafsir makna dari penulisAmbiguitas merupakan aspek yang paling sulit
dari eksegesis.seringkali fenomena ambiguitas ini muncul dengan hapax legomena
atau kekaburan aspek-aspek yang jarang dari jangkauan makna.
Kesimpulan :
METODOLOGI UNTUK STUDI
LEKSIKAL
Metode ini memberikan
suatu prespektif untuk memahami bagaimana seseorang menentukan makna kata dalam
seiap kasus dan oleh karena itu metode ini akan menjadi suatu koreksi yang
berharga bagi suatu penggunaan yang keliru atas kata-kata didalam
khotbah-khotbah dan studi-studi alkitab :
I.
Menentukan kata-kata kunci didalam
konteks
II.
Pelajari dengan seksama konteks tempat
suatu kata muncul
III.
Tentukanlah jangkauan makna dari suatu
istilah
IV.
Perhatikan apakah suatu kata digunakan
terutama dalam kerangka pengertian atau rujukan
V.
Jika suatu istilah bersifat
rujukan,pelajarilah istilah tersebut secara konseptual
VI.
Jika suatu kata digunakan dalam kerangka
pengertian,pelajarilah kata itu secara structural didalam keadaan sekitarnya
VII.
Selidiki kembali jangkauan makna dalam
pengertian kecenderungan penulis dan konteks dekat
C.
LATAR BELAKANG SEJARAH DAN BUDAYA
Pengetahuan tentang
latar belakang dapat mengubah khotbah yang berasal dari studi dua dimensi
menjadi peristiwa sinematik tiga dimensi. Setiap cerita dan wacana Alkitab di
dalam lingkungan budaya yang konkret dan ditulis untuk suatu situasi konkret.
Eksegesis sejarah dan budaya berbeda dari kritik sejarah dalam hal menerapkan
latar belakang kepada suatu perikop untuk lebih memehami maknanya, namun tidak
digunakan untuk menentukan otensitas atau penambah editorial yang dilakukan
terhadap teks itu.“Sejarah” merupakan aspek diakronis, berkaitan dengan
lingkungan dimana para penulis Alkitab menghasilkan karya0karya mereka; Sejarah
merujuk pada peristiwa dan waktu dimana wahyu suci dari Allah disampaikan.
“Budaya” merupakan aspek sinkronis, merujuk kepada cara,k kebiasaan, aturan dan
prinsipyang mewarnai masa tertentu dan membentuk lingkungan dimana orang-orang
menjalani kehidupan mereka. Para penulis dapat menyampaikan (sastra profetik
atau epistle dengan penekanan sejarah masa kini) maupun melukiskan (narasi
sejarah dengan penekanan sejarah di masa lalu) situasi-situasi yang menjadi
latar belakang. John Ellot mengatakan tugas dari pendekatan sosial ilmiah
adalah untuk mempelajari (1) bukan hanya aspek-aspek sosial dari bentuk dan isi
teks tetapi juga faktor-faktor pengondisi dan konsekuensi-konsekuensi yang
dimaksudkan dari proses komunikasi itu….:(2) korelasi linguistic, sastra,
theology (ideology), dan dimensi-dimensi sosial dari teks; dan (3) cara
komunikasi tekstual ini sebagai refleksi dan respons kepada suatu konteks
sosial dan budaya. Alat utama untuk menyingkapkan data ini adalah arkeologi.
Arkeologi umumnya digunakan terutama bagi tujuan-tujuan apologetic untuk
“membuktikan” otensitas dari kisah Alkitab. Akan tetapi ada bahaya besar
menggunakan arkeologi untuk apologetika. Namun sebagian besar orang saat ini
kelihatannya masih belum menyadari karya Kathleen Kenyon di tahun 1952-1958
yang memperlihatkan bahwa puing-puing banteng yang ditemukan Garstang
sebenarnya yang dari periode yang lebih awal, yaitu suatu kota pada awal Zaman
Perunggu yang dihancurkan oleh gempa bumi dan kebakaran 2300 SM (ketimbang 1400
SM menurut Garstang). Edwin Yamauchi membahas “sifat ketidakengkapan” dari buku
dari arkeologis (1972:146-58). Dalam suatu rangkaian moral menurun, ia
mempelajari sejauh mana bukti arkeologis dapat kita gunakan.
1. Hanya
potongan yang sangat kecil dari apa yang telah dibuat atau ditulis yang masih
bertahan.
2. Hanya
sebagian kecil dari situs yang ada yang telah disurvei.
3. Dari
yang telah disurvei hanya sebagian kecil yang telah diekskavasi.
4. Hanya
sebagian kecil dari situs yang telah digali itu yang pernah diteliti, akibat
biaya yang sangat tinggi dan jumlah waktu yang harus disediakan untuk
melakukannya.
5. Hanya
sebagian kecil dari materi yang telah ditemukan dipublikasikan.
RANAH-RANAH
UNTUK RISET
1. Geografi.
Perpindahan penduduk dan topografi dari suatu wilayah dapat menambah pemahaman
yang luar biasa pada studi suatu perikop. Seperti yang dijelaskan Barry
Beltzel, dalam banyak hal sejarah sendiri terikat dan dibatasi batasan-batasan
geografis. Beltzel menyebutkan dua contoh dalam alkitab: pertama, suatu
analisis tentang penaklukan Kanaan menunjukkan bahwa semua kota yang diserbu
terletak di dataran tinggi, sementara dataran rendah menguasai lembah-lembah,
dimana kereta-kereta perang orang Kanaan dapat menguasai setiap peperangan,
tetap berada diluar kendali. Kedua, Yesus memilih kapernaum sebagai pusat
pelananan-Nya di Galilea sebagian terkait dengan pertimbangan faktor-faktor
geografis.
2. Politik.
Dalam mempelajari catatan-catatan sejarah (seperti sejarah Israel atau
kehidupan Yesus) kita akan sangat terbantu jika kita mengetahui beberapa
perkembangan politik di balik catatan-catatan itu. Untuk ulasan yang sangat
bagus tentang teori-teori ilmiah sosial berkenaan dengan isu seperti asal-usul
Israel, perkembangan dari kerajaan, tradisi nubuat, pembuangan dan kedudukan
perempuan pada masa Israel kuno.
3. Ekonomi.
Setiap budaya dapat dijelaskan berdasarkan situasi sosioekonominya. Akan tetapi
ada beberapa kesulitan dalam melacak latar belakang ekonomi dari wilayah
manapun. Perkembangan dari ekonomi seminomaden pada patriak ke ekonomi agraris
dari Israel mula-mula sampai ekonomi perdagangan dan situasi cosmopolitan pada
periode Greko-Romawi menolong kita untuk memahami detail-detail dalam teks.
Karena pertobatan mereka yang sebelumnya, maka situasi orang-orang Kristen ini
dapat dipastikan lebih sulit. Di dalam suatu masyarakat yang menjujung rasa
malu, penekanannya bukan pada mengumpulkan kekayaan, melainkan pada
mempertahankan kehormatan nama keluarga.
4. Militer
dan perang. Istilah perang lebih dari tiga ratus
kali didalam Perjanjian Lama saja, sebagian besar gambaran yang berkenaan
dengan Allah sebagai penolong kita berasal dari metafora-metafora militer.
Tidak ada wilayah lain didunia ini yang diperebutkan sedemikian hebatnya.
Abraham mengalahkan empat raja dengan 318 orang laki-laki telah dikatakan tidak
masuk akal dari sudut pandang militer. Daud mengalahkan kekuatan militer Aram
yang cukup besar dengan tujuh ratus kereta perang ia tidak menyimpan
kereta-kereta perang itu, kemungkinan ia merasa kekuatan kereta perang itu
kurang bermanfaat bagi kekuatan militernya. Mereka meraih kemenangan
berdasarkan taktik yang lebih unggul dan yang terutama adalah melalui campur
tangan ilahi.
5. Praktik-praktik
budaya.
1. Kebiasaan-kebiasaan keluarga.
Kebiasaan kebiasaan keluarga seperti ritual pernikahan atau praktik-praktik
pendidikan sangatlah penting. Misalnya, Israel mempraktikan endogami, menikah hanya dengan sesame
orang Israel. Keluarga merupakan fokus fokus sampai periode setelah pembuangan
ketika sinagoge mengambil suatu fungsi pendidikan.
2. Kebiasaan-kebiasaan materi.
Kebiasaan-kebiasaan materi (rumah,pakaian) juga dapat memberikan keterangan
berharga. Misalnya, desa-desa orang Israel di seluruh periode Perjanjian Lama
dari bahan-bahan dan hasil kerja yang kurang bermutu.
3. Kebiasaan-kebiasaan setiap hari.
Kebiasaan-kebiasaan setiap hari memiliki pengaruh lebih banyak bagi
perikop-perikop Kitab suci ketimbang yang diperkirakan orang.
4. Atletik dan rekreasi.
Atletik dan rekreasi membentuk suatu bagian yang penting dari waktu bersantai
bagi setiap orang, dan ini juga berlaku pada zaman alkitab.
5. Musik dan seni.
Musik dan seni merupakan salah satu usaha manusia yang paling mulia.
6. Antropologi budaya.
David deSilva memperlihatkan bagaimana matriks budaya untuk ide-ide alkitabiah
itu esensial untuk memahami apa yang ada di belakang teks, khususnya didalam
ide-ide dari dunia kuno tentang kehormatan rasa malu atau tahir-najis yang
sangat asing bagi dunia barat.
6. kebiasaan-kebiasaan
religius. Kebiasaan-kebiasaan religius
mengendalikan setiap aspek kehidupan sehari-hari bangsa Israel.
KESIMPULAN
Jadi, dalam menafsir alkitab harus benar-benar
mempelajari keseluruhan teks yang ada dan benar-benar memahami semua konteks
yang ada, baik itu konteks sejarah maupaun konteks logis, ternyata kedua kedua
konteks tersebut sebagai faktor yang paling mendasar dalam penafsiran. Dan
selebihnya adalah dengan membuat bagan suatu kitab dan membuat diagram dari
paragraf,serta mempelajari dengan benar tata bahasa yang ada contohnya seperti
semantic yaitu kata-kata yang menyediakan bangunan dari makna, tata
bahasa, dsan sintaksis menyediakan
rancangannya.
Terima Kasih kak...
BalasHapussalam..